Pengertian [1]
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikan. Najis menurut istlah syara’ adalah setiap benda yang bisa mencegah keabsahan shalat jika tidak ada dispensasi.
Dari definisi tersebut, kita bisa mengetahui benda mana yang dikategorikan najis dan mana yang tidak. Seperti ingus (kotoran hidung) termasuk kategori benda suci, meskipun termasuk hal yang menjijikan, karena ingus tidak sampai membatalkan shalat. Definisi di atas juga mengategorikan benda-benda najis yang ma’fu tetap sebagai benda najis, karena benda-benda itu dianggap tidak membatalkan shalat sebab ada dispensasi syari’at (rukhshoh), bukan karena benda-benda tersebut dihukumi suci.
Hukum Dan Dalil
Hukum menghilangkan najis adalah wajib, hanya saja tidak harus segera dilakukan, kecuali jika terkena najis karena kecerobohan, seperti dengan sengaja mengotori badan dengan najis tanpa ada kebutuhan. Dikatakan demikian, karena sengaja mengotori dengan najis tanpa ada kebutuhan adalah maksiat, sehingga wajib untuk segera bertaubat dengan menghilangkannya[2]. Hukum wajib menghilangkan najis berdasarkan perintah Rasûlullah e untuk membasuh air kencing seseorang yang kencing di masjid [3]:
Klasifikasi Najis
Secara umum najis dibagi menjadi tiga, yaitu najis mukhaffafah, mutawassithah, dan mugalladhah. Mekanisme menghilangkan najis juga berbeda-beda, sesuai jenis najis.
- A. Mukhaffafah (Ringan) [1]
Yaitu najis air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun serta hanya mengkonsumsi air susu ibu sebagai makanan pokoknya. Dinamakan mukhaffafah (ringan), karena syari’at telah memberikan keringanan hukum menghilangkan najis tersebut.
Mekanisme menghilangkan najis mukhaffafah, dimulai dengan menghilangkan najis dan sifat-sifatnya serta memercikkan air secara merata terhadap tempat najis, sekira air percikan melebihi ukuran tempat najis, meskipun tidak sampai mengalir.
Air kencing dihukumi, baik berasal dari anak kecil ataupun orang dewasa berdasarkan Hadits Nabi e :
Lafadhالْبَوْلُ merupakan lafadh yang ‘âmm (umum), yang menunjukkan keumuman artinya, sesuai dalam kajian ilmu ushûl al-fiqh, bahwa lafadh yang disertai al (ال ) yang memiliki arti jenis akan menunjukkan arti yang umum. Sementara tidak ada Hadits lain yang mempersempit (takhshîsh) keumuman Hadits di atas, sehingga Hadits tersebut tetap memberikan kefahaman bahwa semua bentuk air kencing hukumnya adalah najis.
Namun walaupun semua air kencing hukumnya sama-sama najis, bukan berarti sama dalam mekanisme menghilangkannya. Mekanisme menghilangkan najis makhaffafah lebih mudah, sebagaimana keterangan di atas. Hal ini berdasarkan pada sebuah Hadits mengenai cara mensucikan air kencing anak kecil yang masih dalam masa susuan :
[1] Hasan bin Ahmad, Taqrîrât as-ٍSadîdah, hlm. 77.
[1] Al-Bâjûry, Hâsyiyah al-Bâjûry, vol. I, hlm. 99.
[2] Al-Bâjûry, Hâsyiyah al-Bâjûry, vol. I, hlm. 101.
[3] Muhammad al-Hasany, Kifâyah al-Akhyâr, vol. I, hlm. 66.